Bertanggung jawab atas kegagalan ialah ciri pemimpin hebat. Beginilah cara berhasil meskipun semuanya berjalan salah.
Tepat sebelum kompetisi balapan kapal layar America’s Cup World Series di Oman pada Februari lalu, Sir Ben Ainslie menghadapi keputusan sulit.
Ainslie
– pelayar Olimpiade tersukses sepanjang sejarah, dengan lima medali –
ialah kapten tim layar Land Rover BAR dan terkenal dengan kebiasaannya
menang dengan menyusul musuh dari belakang.
Pada
hari terakhir balapan di Oman, angin bertiup lembut. Dalam dua babak
pertama dari tiga babak, Ainslie salah memperkirakan angin dan menyetir
kapal yacht-nya ke garis start terlalu cepat – kelebihan
12cm di babak pertama dan 10cm di babak kedua. Timnya kena penalti, yang
berarti mereka harus membiarkan tim lain melewati mereka.
Namun babak ketiga mengubah semuanya. Dengan angin yang masih pelan
bertiup, Ainslie berjuang keras membawa timnya dari urutan ketiga ke
urutan pertama, dan kesuksesan itu cukup untuk memastikan kemenangan
mereka di kompetisi itu.
Ketika melihat ke belakang sekarang, Ainslie mengatakan ada alasan besar
yang membuat timnya akhirnya menang. Sebagai kapten, Ainslie cepat
memikul tanggung jawab atas dua kesalahan pertama, dan timnya dapat
melaju ke babak ketiga tanpa dihantui rasa bersalah.
“Saya bisa saja berhadapan dengan sekelompok orang yang frustasi kepada
saya. Tapi mereka mengerti bahwa setiap orang bisa berbuat salah,” kata
Ainslie. “Tim saya yakin, jika Anda berusaha dan gagal, itu bukan akhir
segalanya.”
Ini bukan tugas mudah bagi kebanyakan pemimpin. Mengakui Andalah alasan
sesuatu berjalan salah, bertanggung jawab atas kegagalan departemen dan
perusahaan Anda, sungguh berat. Namun menerima itu semua, mengakui
kesalahan Anda, dan belajar dari pengalaman ialah ciri manajer hebat.
Menerima kesalahan
Sudah sifat
manusia untuk menerima pujian atas kesuksesan dan menyalahkan orang lain
atas kegagalan, kata Oliver Donoghue, direktur dan pendiri agen
pencarian bakat Nonstop Recruitment Schweiz AG di Praha. Di
banyak perusahaan, sifat itu menciptakan kultur yang mana tak ada orang
bersedia memikul tanggung jawab karena takut kena hukuman.
“Apa yang harus Anda pahami ialah bukan kesalahan yang menentukan siapa Anda,” kata Donoghue, “tapi cara Anda menanganinya.”
Hampir setiap jenis tim punya problem yang sama tentang bertanggung
jawab dalam keadaan serba salah, kata Jan Hagen, profesor di sekolah
bisnis ESMT, Berlin. Hagen mempelajari reaksi berbagai orang – dari
pekerja kantoran hingga awak pesawat terbang – yang berhadapan dengan
stres. Di dalam kokpit, ia menemukan bahwa awak pesawat sering tidak
melaporkan problem kepada kapten mereka karena kecemasan yang terkait
dengan membawakan berita buruk.
Dalam dunia bisnis, manajer seringkali hanya menundukkan kepala ketika
ada masalah, takut mereka akan disalahkan jika melapor. “Mengakui
kesalahan tak pernah mudah,” kata Hagen. “Di organisasi besar
sekalipun.”
Problem dengan sistem penyangkalan seperti ini ialah Anda kehilangan
kesempatan untuk belajar dari kesalahan, kata Hagen. Alih-alih
menyangkal, setelah mengakui bahwa Anda gagal, telusuri di mana
kesalahan Anda. Ini akan membantu Anda memperkirakan apa yang perlu
dihindari lain kali.
“Ketika semua berjalan lancar, kita bicarakan dan belajar dari itu,”
kata Hagen. “Ketika ada rasa takut gagal dalam suatu organisasi,
orang-orang kehilangan kesempatan untuk belajar bagaimana masalah
terjadi dan bagaimana cara mencegahnya terjadi kembali.”
Belajar cara yang benar untuk memikul tanggung jawab atas suatu
kegagalan ialah hal krusial bagi para manajer, kata David Rodnitzky, CEO
3Q Digital, perusahaan media di California. Sembari mengakui masalah
Anda, tawarkan analisis tentang akar masalah itu, dan bagaimana Anda
akan menghindarinya di masa depan.”
Analisis seperti itu akan membantu Anda menghadapi kemarahan atasan atau
pemegang saham. Di saat bersamaan, sikap mengakui kesalahan dapat
membantu Anda berurusan dengan bawahan, kata Rodnitzky. Menyalahkan diri
sendiri atas suatu kesalahan, alih-alih staf Anda, menumbuhkan
loyalitas.
Melawan Ego
Cristina Mariani-May baru-baru ini merasakan sendiri betapa susahnya mengakui kesalahan.
Keluarganya
memiliki Banfi Wines, perusahaan berbasis di New York yang telah
mengekspor anggur Italia ke seluruh dunia sejak 1919. Mulai 1978,
perusahaan itu juga memiliki kebun anggur di Toskana.
Ayah Cristina, John Mariani, mendapat ide untuk membuka hotel di
lahan properti seluas 2.900 meter persegi milik mereka. Dalam rapat, ia
menyarankan perusahaan mereka menjalankan hotel itu sendiri. Mariani-May
berpendapat mereka butuh merekrut seorang ahli. Perdebatan memanas, dan
tampaknya tak ada yang mau mengalah.
Mariani-May setuju untuk
mempelajari dua opsi itu. Dua tahun kemudian, setelah berkonsultasi
dengan pemilik kebun anggur lainnya, ia menemui ayahnya dengan membawa
jawaban sulit: Ayah benar.
“Saya harus menelan harga diri saya,
dan mengakui saya salah,” tutur Mariani-May. “Memang tidak mudah, namun
setelah saya mengakui kesalahan saya, kami dapat melangkah maju.”
Lima tahun lalu perusahaan itu membuka Castello Banfi il Borgo, hotel
14 kamar di lantai dasar kastil dari abad ke-12. Sejak itu, Condé Nast
Traveler menempatkannya pada peringkat atas, di antara hotel-hotel
terbaik di Italia, dan Fodor’s Travel menobatkan sebagai satu dari 10
hotel kebun anggur terbaik di dunia. Ini tak akan mungkin, kata
Mariani-May, jika ia tak pernah mengakui kesalahannya.
“Ini salah
satu aset manajemen yang baik. Jangan menangani proyek besar apapun
dengan ego, dan bersiaplah mengaku jika Anda membuat kesalahan.”