Selasa, 22 Agustus 2017

5 Penyebab Sistem Human Capital di Perusahaan GAGAL


Sejujurnya, tidak semua klien yang saya dampingi dalam membangun sistem human capitalnya dapat berhasil. Atau beberapa diantara mereka membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dapat menerapkan sistem dan membangun budaya di perusahaan atau organisasinya. Berbeda dengan mengaplikasikan sistem IT atau keuangan yang relatif lebih sederhana karena lebih menggunakan program/software sebagai alat bantu mereka. Human Capital ARTchitect secara total berhubungan dengan manusia - yang kita paham benar berhadapan dengan 1.000 manusia berarti berhadapan dengan 1.000 karakter dan bisa jadi perlu 1.000 pendekatan yang berbeda pula.

Nampaknya memang dibutuhkan sedikit kesabaran bahkan keajaiban untuk membangun organisasi yang berniat memperkaya jiwa manusia ini. Selama lebih dari 15 tahun berkecimpung dalam dunia human capital, seringkali saya menjumpai hal-hal dibawah ini yang menjadi faktor penyebab kegagalan organisasi membangun sistem human capitalnya:

1. Tidak adanya LEADER yang jelas

Bicara soal leader, sesungguhnya sedang membicarakan salah satu fungsi dalam organizational development management, ​yaitu poin struktur organisasi. Salah satu klien kami - bisnis keluarga dapat menjadi cerminan hal ini. Bisnis ini, dijalankan oleh kakak beradik sekandung. Kedua pimpinan ini sama-sama saling sungkan mengambil peran sebagai pemimpin utamanya. Si kakak memposisikan adiknya sebagai pimpinan utama. Sayangnya, si adik ini memiliki bisnis lain juga yang harus diperhatikan. Bisnis ini sudah berjalan 10 tahun. Sampai saat ini tidak mudah bagi mereka mau membangun budaya, karena bahkan kedua pimpinan yang ada belum memiliki visi yang sama. Si kakak yang sesungguhnya memiliki waktu dan fokus yang lebih besar justru tidak mengambil peran sebagai pimpinan utama.

Mengapa ini penting? Bisnis apapun adalah model kepemimpinan. Apa yang dilakukan oleh pemimpinnya, sangat mudah terduplikasi oleh tim yang berada di bawahnya. Anda dapat melihat banyak bisnis network marketing yang tiba-tiba dapat jumlah luar biasa. Saya menyebut bisnis network marketing ini sebagai bisnis kepemimpinan. Mereka membangun berbagai sistem edifikasi pada para pimpinan (up line). Sistem ini berhasil – setiap member baru diarahkan untuk mengikuti semua yang dilakukan oleh para up line. Di sisi lain, begitu up line atau mengalami penurunan momentum, maka satu kelompok di bawahnya – entah mengapa – juga tertular, mengalami hal yang sama.

Maka sangat penting juga bagi pimpinan organisasi atau perusahaan untuk menjaga high performance state-nya  Disaat semua orang dalam organisasi ini menurun semangatnya, pimpinan mesti menjadi orang yang paling semangat diantara yang lain.

2. Tidak Ada Langkah Pertama

Memang mudah mempelajari sesuatu dan menambah wacana. Namun menjadi tantangan bagi banyak orang untuk mewujudkannya – memulai langkah pertama. Barangkali tidak hanya di dalam perusahaan, untuk hal yang sifatnya personal, Anda juga pernah kebingungan untuk melakukannya. Namun kalau kita lihat, ada orang-orang tertentu yang dengan mudah bisa melakukan sesuatu yang baru. Apakah ini juga terkait dengan karakter pribadinya?

Jika Anda sudah mencoba Decision Making Inventory kami, Anda dapat mengenal tipe Matahari, Bulan, Bintang dan Bumi. Menurut saya, orang-orang dengan tipe Matahari ini memang lebih cepat bergerak. Parameter mereka adalah tindakan – mereka belajar melalui tindakan. Maka mereka akan mewujudkan hal-hal yang dipelajarinya melalui tindakan pula. Di beberapa perusahaan yang kami dampingi, mau-tidak-mau saya mengakui, bahwa orang dengan tipe matahari inilah yang seringkali membuat sebuah konsep terwujud. Memang tidak berarti tipe lain tidak bisa memulai langkah pertama. Namun matahari, ia bergerak lebih cepat dari yang lain untuk melangkah.

Nah, jika kita lihat perusahaan besar yang inovatif, di dalamnya banyak sekali orang yang kreatif dan aktif. Mereka tidak takut salah – walaupun hanya sebuah langkah kecil yang sederhana, yang penting dilakukan. Simplifikasi. Ini adalah kata kunci untuk langkah pertama. Kita ambil contoh Starbucks – mereka adalah kelompok yang berusaha membuat perubahan besar dalam kehidupan masyarakat dengan berjuta cara sederhana. Momen-momen kecil seperti tersenyum ketika menyajikan minuman, menyapa setiap pelanggan dengan namanya, meracik minuman sesuai selera setiap pelanggan, juga menyediakan kursi yang nyaman untuk bersantai bersama teman.

3. Tidak Konsisten

Membangun budaya organisasi bukanlah hal yang instan. Ini sama juga seperti kita membiasakan diri untuk berolah raga – berapa waktu yang Anda butuhkan untuk terbiasa bangun pagi dan keluar dari rumah untuk bergerak? Mereka yang sudah terbiasa berolah raga justru merasa tidak nyaman badannya jika tidak bergerak.

Hal pertama yang selalu kami anjurkan bagi klien-klien kami adalah pertemuan. Sebuah organisasi yang berkembang akan bergerak dari pertemuan ke pertemuan. Dalam pertemuan, di situlah setiap SDM dapat berjumpa dan berkomunikasi dengan lebih fokus. Bukan sambil lalu dan hanya saling menyapa. Seringkali pertemuan ini, terutama yang sifatnya rutin – menjadi turun skala prioritasnya saat jadwal pekerjaan meningkat. Begitu sekali pertemuan terlewatkan, seolah seluruh SDM menjadi sepakat bahwa pertemuan ini adalah hal yang bisa ditoleransi. Kalau ada yang lebih penting, maka pertemuannya ditunda saja.

Ini adalah salah satu sumber masalah yang dapat berdampak pada area-area lain. Menjadwalkan dan menepati jadwal pertemuan adalah hal yang penting. Konsisten dan percaya pada prosesnya.

4. Menjadi pribadi di bawah garis

Ada kisah menarik yang selalu saya ingat dari Starbucks. Irene adalah mantan guru yang berusia 70-an. Setiap hari, ia dan suaminya mengunjungi kedai Starbucks dengan pesanan yang sama: kopi dalam cangkir besar dan satu cangkir tambahan agar bisa dibagi. Mereka juga memesan satu kue dan dua garpu untuk dinikmati berdua. Pasangan tersebut menikmati kopi dan kue mereka, dan mereka akan berlama-lama duduk berbincang melewatkan waktu.

Hingga beberapa hari saat pasangan itu tidak lagi mengunjungi kedai Starbucks, maka si barista mengkhawatirkan mereka. Suatu hari ia berpapasan dengan Irene dan ternyata suami Irene telah meninggal karena serangan jantung. Si barista ini mengajak Irene untuk mampir kembali ke kedai. Irene mengatakan, “Saya tidak tahu harus pesan apa karena kami biasanya saling berbagi.” Maka si barista ini menjawab, “Begini saja, saya yang akan berbagi dengan Anda secangkir kopi dan kue ini dengan Anda hari ini. Kita bisa menikmatinya sambil mengobrol apa saja yang bisa membuatmu lega dan senang.” Maka si barista ini dan Irene duduk mendengarkan betapa Irene kehilangan suaminya. Keajaiban mulai terjadi. Beberapa hari kemudian, Irene datang kembali ke kedai dan bertanya apakah ia bisa memesan kopi dengan cangkir yang lebih kecil dan membawa pulang setengah dari kue yang dipesannya.

Bukan soal kopinya, musiknya, tempat duduknya, atau suasana santainya. Ini adalah bagaimana setiap SDM di kedai itu terlatih untuk menjadi pribadi yang di atas garis, Perusahaan benar-benar membangun dan memfasilitasi setiap SDM-nya untuk bangga dan gembira pada setiap aspek pekerjaan mereka. Akhirnya bukan lagi soal SOP, KPI atau aturan-aturan lainnya – namun bagaimana menumbuhkan setiap pribadi untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan mampu melihat kesempatan untuk menjadi pribadi yang bisa berdampak pada lingkungan sekitarnya. Tentu – sekali lagi – ini bukan hal yang instan. Perlu role model, konsistensi dan komitmen kuat dari manajemen dalam hal ini.

5. To Be x To Do

Saya yakin pertanyaan ini sungguh bukan pertanyaan yang menyenangkan untuk dijawab. Masalah mendasar dari membangun sistem Human Capital adalah bagaimana si pembangun ini memiliki identitas sebagai Human Capital Practitioner. Seringkali klien kami bertanya, “Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuat sistem ini? Menyiapkan job description, key performance indicator, skala pengupahan, berbagai peraturan, kurikulum pengembangan SDM, dan sebagainya? – Ibu kan pasti sudah ada banyak referensi. Bisakah dalam 3 bulan?”

Memang bisa saja kami menggunakan referensi skema yang kami miliki. Namun hal itu ternyata belum cukup. Sistem sudah ada seharusnya tinggal dilakukan – “DO”. Namun memiliki identidas sebagai Human Capital Practitioner ini memerlukan waktu.

Kembali lagi pada pertanyaan saya di awal poin ini, “Apa nama departemen Anda?” HUMAN Capital Department – atau – HUMAN Resourse Department. Ini berarti MANUSIA menjadi isu utamanya. Maka berapa waktu yang kita habiskan untuk bekerja bersama tumpukan kertas dan laptop di dalam ruangan HR yang nyaman? Atau berapa waktu lamanya kita bekerja untuk berhubungan dengan manusia? Connect to people?

Ini justru menjadi tantangan utama setiap Human Capital Practitioner – mengenal setiap orang yang ada dalam organisasi, berbicara dengan mereka, membangun relasi yang positf dan inspiratf. Namun justru kebanyakan hanya bekerja bersama dokumen dan konsep. Sistem memang perlu dimiliki dan dilakukan, namun membangun identitas diri sebagai departemen yang sungguh terkoneksi dengan manusia adalah tantangan sesungguhnya.

Maka bagi Anda yang membaca artikel ini, “Berapa persen waktu yang Anda gunakan untuk connect to people?

Sekali lagi, membangun sistem bukan hal yang instan. Menciptakan budaya organisasi bukan pekerjaan yang 1-2 semester selesai. Banyak detail yang harus kita perhatikan. Inilah pentingnya Anda mempunyai Coach/ Mentor. Seringkali karena kesibukan dan tidak fokus, maka hal-hal detail yang harus dilakukan secara konsisten menjadi terlewat. Coach/ Mentor Anda akan membantu untuk mengawal proses yang ada, mengingatkan, menjadi teman diskusi, juga menjadi kritikus yang membangun.

Basic of Training Needs Analysis

Halo HCA Professionals yang ARTmazing,

Apa itu TNA atau Training Needs Analysis? Berikut ini kami mencoba untuk me-refresh kembali definisi dan dasar-dasar dari TNA dan metode apa saja yang dapat digunakan.

TNA (Training Needs Analysis)


TNA merupakan suatu proses identifikasi dan analisis tentang kebutuhan pelatihan atau program pengembangan potensi sumber daya manusia dalam suatu organisasi, yang tujuan akhirnya terjadi peningkatan performa.

Setiap organisasi atau perusahaan pasti menginginkan sumber daya manusia yang di dalamnya menunjukan top performance, maupun mengerahkan seluruh potensinya untuk menyelesaikan tantangan dalam pekerjaan mereka. Setiap individu yang bekerja, sebenarnya memiliki kesempatan untuk menunjukan kemampuan terbaiknya. Namun apakah mereka mampu melakukannya? Berapa persen dari potensi yang dimiliki mampu ditunjukan dalam performanya?

Seringkali terdapat gap, antara performa yang diharapkan dengan performa realita yang dimiliki individu. Oleh karena itu, sebuah organisasi pasti perlu melakukan pelatihan maupun pengembangan potensi terhadap sumber daya manusianya. Maka dari itu, masing-masing individu yang menjadi bagian dalam organisasi tersebut mampu menunjukkan performa terbaiknya secara konsisten.

Challenge Untuk Organisasi

Setiap organisasi mengetahui bahwa dalam mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas, tidak hanya bergantung pada merekrut individu yang berkualitas; dan juga tidak dalam waktu yang instan. Proses Training & Development sangat berperan penting untuk memaksimalkan potensi individu hingga mencapai top performance.
Keberhasilan proses training & development bergantung kepada seberapa dalam kita mengetahui kebutuhan yang harus dipenuhi. Proses training & development sendiri cenderung dianggap sebagai sumber pengeluaran yang besar, oleh karena itu organisasi butuh memastikan hasil dari proses training & development dapat mencapai ROI (Return of Investment) yang positif. Efisiensi dan efektifitas anggaran yang telah diinvestasikan perlu dipastikan sehingga proses pelaksanaan pelatihan dapat terukur dan bermanfaat secara optimal.

Lemahnya informasi tentang kebutuhan training & development dapat mengakibatkan terjadinya ketidaksesuaian prioritas kebutuhan.


Langkah-langkah TNA

Langkah 1

Tentukan Hasil yang Diinginkan
Pertama-tama bayangkan terlebih dahulu mendefinisikan keberhasilan seperti apa yang ingin Anda capai. Ketahui juga bagaimana mengukur keberhasilan tersebut, bisa dalam bentuk perilaku atau pengukuran apapun. Bayangkan apa yang coba Anda perbaiki, atau masalah apa yang sedang Anda coba pecahkan. Secara ideal, pelatihan atau training yang dilakukan berkaitan dengan bisnis proses.

Langkah 2

Libatkan Para Karyawan dan Cocokan dengan Tujuan Anda
Sangat penting untuk mengidentifikasi kompetensi yang benar-benar dibutuhkan untuk mencapai target dan disesuaikan pula dengan hasil seperti apakah yang ingin Anda raih. Anda pasti akan sangat membutuhkan keterbukaan dari para karyawan, sehingga Anda benar-benar dapat mengidentifikasikan kebutuhan yang diinginkan dan kompetensi yang mereka miliki saat ini. Anda juga butuh untuk menyampaikan tujuan Anda sehingga mereka memahami proses yang sedang dilakukan dan keuntungan apa yang dapat mereka peroleh.

Langkah 3

Identifikasi kompetensi apa yang dibutuhkan saat ini
Data yang Anda peroleh dari karyawan akan menunjukan gap antara kompentensi yang Anda butuhkan dengan kompetensi mereka saat ini. Sehingga tahu kebutuhan pelatihan apa yang harus dipenuhi untuk meningkatkan potensi karyawan.

Langkah 4

Tentukan metode yang paling efektif
Ada bermacam-macam metode yang bisa Anda gunakan untuk meningkatkan potensi sumber daya manusia di dalam organisasi
Contoh metode yang bisa digunakan :
  • On the Job Training
  • Mentoring dan coaching
  • Ceramah
  • E-learning
  • Buku dan e-book
  • Dll,

Langkah 5

Perhatikan biaya yang dikeluarkan
Pelatihan yang akan dilakukan pasti membutuhkan biaya. Yang perlu diingat adalah waktu, dan tenaga yang Anda luangkan juga termasuk biaya. Maka, di bawah ini adalah beberapa hal yang perlu Anda cermati
  • Waktu kerja yang menjadi tidak aktif ketika mengikuti pelatihan
  • Biaya training yang sesuai dengan kebutuhan Anda
  • Biaya transportasi
  • Biaya administrasi
  • Dll

Widhi Servo - Owner Servo Group

Saya tidak berbisnis, hanya mengalihkan pikiran negatif saya. Baca selanjutnya di sini 

Top